Asumsi dasar akuntansi merupakan aturan yang disepakati dalam akuntansi dan dianggap benar.
Kebenaran ini berasal dari pengalaman para akuntan dalam jangka waktu yang lama.
Asumsi dasar ini bukan hanya digunakan oleh para akuntan sebagai panduan dalam menyusun laporan keuangan, namun juga digunakan oleh badan penyusun standar akuntansi dalam membuat standar akuntansi baru.
Selain asumsi, akuntansi juga memiliki beberapa prinsip dasar dalam mengukur transaksi keuangan. Prinsip-prinsip ini mengatur bagaimana perusahaan mencatat dan melaporkan transaksi-transaksinya.
1. Asumsi Dasar Akuntansi Keuangan
Asumsi-asumsi dasar akuntansi, secara umum, ada empat, yaitu asumsi entitas akuntansi, asumsi satuan moneter, asumsi kelangsungan usaha, dan asumsi periode akuntansi.
1.1. Asumsi Entitas Akuntansi
Asumsi entitas akuntansi (accounting entity asumption) menetapkan batasan-batasan atas pelaporan perusahaan. Artinya, baik aset, kewajiban, ekuitas, maupun pendapatan dan beban-beban dari suatu entitas, dilaporkan secara terpisah dari pemilik atau pemegang sahamnya.
Entitas akuntansi biasanya merupakan suatu bisnis atau entitas ekonomi, seperti perusahaan, baik berbentuk perseroan terbatas (PT), kemitraan, perusahaan perseorangan, maupun organisasi pemerintah dan nirlaba.
Perlu dipahami bahwa entitas akuntansi berbeda dengan entitas hukum, khususnya pada perusahaan kemitraan dan perseorangan.
Kalau di perusahaan berbentuk PT, entitas akuntansi dan entitas legal terpisah dengan pemiliknya, pada perusahaan kemitraan dan perseorangan entitas akuntansinya terpisah, namun entitas legalnya tidak, pemilik tetap bertanggung jawab pada utang dan kewajiban-kewajiban perusahaan.
Asumsi entitas akuntansi juga mengatur batasan mengenai suatu perusahaan yang mempunyai anak perusahaan. Dalam hal ini, perusahaan induk tersebut tersebut harus membuat laporan konsolidasi.
1.2. Asumsi Unit Moneter
Suatu perusahaan, dalam menyajikan laporan keuangannya, hanya boleh menyertakan transaksi yang dapat diukur. Artinya, hanya transaksi yang dapat dihitung dalam angka yang dapat dimasukkan ke dalam laporan keuangan.
Unit pengukurannya sendiri menggunakan satuan mata uang, sehingga bila laporan keuangan disusun oleh perusahaan yang beroperasi di Indonesia, maka satuan yang digunakannya adalah rupiah.
Namun, terkadang perusahaan melakukan transaksi dengan menggunakan mata uang asing. Dalam hal ini, perlu dilakukan konversi nilai mata uang asing tersebut ke dalam nilai rupiah untuk mencatatnya dalam laporan keuangan. Hal ini penting agar semua transaksi dapat dipahami dan dianalisis dengan menggunakan mata uang yang sama, yaitu rupiah.
Misalnya, jika perusahaan melakukan transaksi pembelian barang dari luar negeri dengan menggunakan dolar Amerika Serikat (USD), maka nilai pembelian dalam USD tersebut harus dikonversi menjadi nilai rupiah sesuai dengan kurs yang berlaku pada saat transaksi terjadi. Nilai konversi ini kemudian digunakan dalam laporan keuangan perusahaan untuk menggambarkan jumlah yang sebenarnya dibelanjakan dalam mata uang rupiah.
Dengan melakukan konversi nilai mata uang asing ke dalam rupiah, perusahaan dapat memastikan bahwa seluruh transaksi dan akun keuangan tercatat dengan benar dan dapat dibandingkan secara konsisten dalam laporan keuangan.
1.3. Asumsi Kelangsungan Usaha
Asumsi kelangsungan usaha mengasumsikan bahwa perusahaan akan beroperasi selamanya atau dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Dalam kaitannya dengan laporan akuntansi, asumsi ini memiliki dampak penting dalam hal pengukuran aset dan juga estimasi yang digunakan oleh perusahaan.
Pertama, terkait pengukuran aset. Dengan asumsi kelangsungan usaha, perusahaan dapat melaporkan aset-aset yang diperolehnya dengan menggunakan nilai perolehan atau nilai historis. Ini artinya perusahaan dapat mencatat nilai aset berdasarkan harga yang sebenarnya dibayarkan saat perolehan aset tersebut. Namun, jika asumsi kelangsungan usaha tidak ada, misalnya jika perusahaan akan dilikuidasi, maka perusahaan harus mencatat nilai asetnya berdasarkan nilai likuidasi. Ini artinya nilai aset akan disesuaikan dengan nilai jual yang mungkin lebih rendah.
Kedua, asumsi kelangsungan usaha juga berpengaruh pada estimasi yang digunakan perusahaan. Sebagai contoh, untuk aset tetap yang diperoleh oleh perusahaan, perusahaan dapat menyusutkan nilai aset tetap tersebut selama umur ekonomisnya. Umur ekonomis merupakan perkiraan waktu penggunaan aset sebelum aset tersebut dianggap tidak lagi produktif. Dalam asumsi kelangsungan usaha, perusahaan mengasumsikan bahwa aset tetap akan digunakan selama umur ekonomisnya dan melakukan penyusutan sesuai dengan estimasi yang seharusnya.
Bayangkan jika asumsi kelangsungan usaha tidak ada. Misalnya, jika perusahaan diasumsikan akan beroperasi selama 5 tahun dan membeli bangunan dengan umur ekonomis 20 tahun. Dalam kasus ini, perusahaan tidak akan dapat melakukan penyusutan aset bangunan sesuai dengan umur ekonomisnya karena mereka mengasumsikan bahwa bisnisnya akan berhenti dalam waktu yang lebih singkat.
Dengan menggunakan asumsi kelangsungan usaha, perusahaan dapat melaporkan aset dan melakukan estimasi yang lebih akurat dengan mempertimbangkan keberlanjutan operasinya dalam jangka waktu yang panjang.
1.4. Asumsi Periode Waktu
Meskipun suatu bisnis diasumsikan akan beroperasi selamanya, namun pihak-pihak yang berkepentingan membutuhkan informasi berkala mengenai kondisi keuangan perusahaan.
Atas hal tersebut, periode waktu pelaporan ditetapkan untuk memberikan informasi keuangan pada pihak-pihak yang berkepentingan.
Periode waktu pelaporan umumnya berupa laporan keuangan triwulanan atau tahunan. Laporan keuangan triwulanan disusun setiap tiga bulan sekali, sementara laporan keuangan tahunan disusun setiap akhir tahun. Melalui laporan ini, pihak-pihak seperti pemegang saham, investor, kreditor, dan pemerintah dapat memperoleh informasi terkini mengenai kinerja keuangan perusahaan.
Selain itu, terdapat juga kondisi di mana periode waktu pelaporan bisa lebih sering, seperti laporan keuangan bulanan. Laporan ini biasanya diperlukan oleh manajemen perusahaan untuk memantau perkembangan keuangan perusahaan secara lebih rinci dan melakukan tindak lanjut jika diperlukan.
Dengan adanya periode waktu pelaporan yang teratur, pihak-pihak yang berkepentingan dapat memperoleh informasi yang terkini mengenai kondisi keuangan perusahaan. Hal ini memungkinkan perusahaan membuat keputusan yang lebih baik dan memahami arah perusahaan dalam mencapai tujuan keuangan yang ditetapkan.
2. Prinsip Dasar untuk Mengukur Transaksi Keuangan
Empat prinsip dasar untuk mengukur transaksi keuangan adalah prinsip biaya historis, prinsip pengungkapan menyeluruh, prinsip realisasi, dan prinsip penandingan.
2.1. Prinsip Biaya Historis
Prinsip biaya historis (historical cost principle) merupakan prinsip akuntansi yang menyatakan bahwa nilai aset dan kewajiban perusahaan dilaporkan pada nilai perolehannya. Dengan kata lain, senilai dengan jumlah yang dikeluarkan untuk mengakuisisi aset dan senilai dengan jumlah yang diterima dari suatu utang yang harus dibayar.
Meskipun seiring berjalannya waktu nilai pasar aset dapat mengalami kenaikan atau penurunan, perusahaan tidak diwajibkan untuk melakukan penyesuaian atas nilai aset tersebut dalam laporan keuangannya. Ini berarti perusahaan tidak perlu mencatat nilai aset berdasarkan harga pasar saat ini, melainkan tetap menggunakan nilai perolehan aset pada saat awal dibeli.
Namun, ada beberapa kasus di mana perusahaan diizinkan untuk melakukan penyesuaian atau revaluasi atas nilai aset dalam neraca. Contohnya, dalam situasi kuasi reorganisasi di mana terjadi perubahan signifikan dalam struktur kepemilikan perusahaan, perusahaan dapat melakukan revaluasi aset atau menyesuaikan nilai asetnya sesuai dengan nilai pasar saat itu.
Revaluasi aset ini bertujuan untuk mencerminkan nilai aktual aset tersebut saat itu, terlepas dari nilai historisnya. Namun, perlu diketahui bahwa penyesuaian nilai aset dalam revaluasi ini bukanlah praktek umum dan tidak sering terjadi dalam akuntansi perusahaan.
Prinsip biaya historis mengatur perusahaan agar melaporkan nilai aset dan kewajiban pada nilai perolehan awal, yang memberikan gambaran mengenai jumlah yang telah diinvestasikan atau yang harus dibayar oleh perusahaan untuk memperoleh aset atau memenuhi kewajibannya.
2.2. Prinsip Pengungkapan Menyeluruh
Tujuan utama dari laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang diperlukan oleh pengguna laporan keuangan agar dapat membuat keputusan yang berkualitas. Dalam rangka mencapai tujuan ini, prinsip pengungkapan menyeluruh (full disclosure principle) diterapkan.
Nah, prinsip pengungkapan menyeluruh mengharuskan perusahaan untuk mengungkapkan seluruh informasi yang berdampak material pada bisnis perusahaan, termasuk informasi-informasi yang tak bisa ditampilkan di laporan keuangan perusahaan, seperti misalnya kewajiban kontinjensi. Hal ini diperlukan karena laporan keuangan hanya dapat menyajikan transaksi yang dapat diukur dengan unit moneter.
Lalu, apa saja informasi-informasi yang tak dapat disajikan secara langsung di dalam laporan keuangan?
Informasi-informasi ini dapat beragam, seperti tuntutan hukum yang sedang dihadapi oleh perusahaan yang belum ada keputusan hukumnya, opsi saham eksekutif, perubahan dalam manajemen perusahaan, rencana merger atau akuisisi perusahaan, serta informasi lainnya yang memiliki dampak material di masa depan.
Untuk menyajikan informasi-informasi tersebut, perusahaan menggunakan catatan atas laporan keuangan (CALK) yang disertakan sebagai bagian dari laporan keuangan. Catatan ini berfungsi sebagai penjelasan tambahan yang memberikan rincian dan keterangan lengkap mengenai informasi yang tidak dapat disajikan secara langsung di dalam laporan keuangan utama.
Dengan menerapkan prinsip pengungkapan menyeluruh, perusahaan memastikan transparansi dan keterbukaan kepada pengguna laporan keuangan, sehingga mereka dapat memperoleh informasi yang penting untuk memahami kondisi keuangan perusahaan secara menyeluruh dan membuat keputusan yang tepat.
2.3. Prinsip Realisasi Pendapatan
Prinsip realisasi pendapatan (revenue realization principle) menyatakan bahwa pendapatan diakui pada saat produk sudah diterima pelanggan atau jasa atas suatu pekerjaan telah selesai dikerjakan, tanpa memperhatikan arus kas. Dalam akuntansi, hal ini disebut dengan metode akrual.
Namun, pada perusahaan konstruksi, ada kebijakan yang memungkinkan pengakuan pendapatan berdasarkan kemajuan penyelesaian proyek. Hal ini disebabkan karakteristik khusus dalam industri konstruksi di mana proses pembangunan dapat memakan waktu yang lama, dan pembayaran atas jasa konstruksi seringkali dilakukan secara bertahap selama proses konstruksi berlangsung.
Dalam kasus ini, perusahaan konstruksi dapat mengadopsi metode yang disebut metode pengakuan pendapatan berdasarkan progress penyelesaian (percentage of completion method). Metode ini memungkinkan perusahaan untuk mengakui pendapatan seiring dengan kemajuan penyelesaian proyek.
Misalnya, jika perusahaan telah menyelesaikan 50% dari proyek konstruksi, maka mereka dapat mengakui 50% dari pendapatan yang diharapkan dari proyek tersebut. Pengakuan pendapatan berdasarkan kemajuan ini memberikan gambaran yang akurat tentang kinerja keuangan perusahaan konstruksi, mengingat sifat proyek yang berkelanjutan dan pembayaran yang dilakukan secara bertahap.
Dengan adanya prinsip ini, perusahaan konstruksi dapat melaporkan pendapatannya secara lebih relevan dengan kemajuan proyek yang sedang berjalan. Hal ini memungkinkan para pengguna laporan keuangan untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat tentang kinerja perusahaan dan mengambil keputusan yang lebih baik terkait investasi, pembiayaan, atau penilaian terhadap perusahaan konstruksi tersebut.
2.4. Prinsip Penandingan
Prinsip penandingan (matching concept) adalah konsep akuntansi yang mengatur mengenai pengakuan beban yang terkait dengan pendapatan pada periode yang sama.
Prinsip ini didasarkan pada ide bahwa ada hubungan sebab-akibat antara pendapatan yang dihasilkan dan beban-beban yang dikeluarkan untuk menghasilkan pendapatan tersebut. Dalam hal ini, beban-beban yang terjadi dalam proses menghasilkan pendapatan harus diakui pada periode yang sama dengan pendapatan yang dihasilkan.
Misalnya, jika suatu perusahaan menjual produknya dan mengakui pendapatan dari penjualan tersebut pada tahun 2020, maka biaya-biaya yang terkait dengan produksi dan penjualan produk tersebut, seperti biaya bahan baku, biaya tenaga kerja, dan biaya pemasaran, juga harus diakui pada bulan tahun 2020. Hal ini memastikan bahwa pendapatan dan beban-beban yang terkait diperhitungkan bersama-sama dalam laporan keuangan untuk mencerminkan hubungan sebab-akibat.
Dengan menerapkan prinsip penandingan, perusahaan dapat memberikan gambaran yang akurat mengenai kinerja keuangannya dalam suatu periode tertentu. Prinsip ini membantu pengguna laporan keuangan, seperti manajemen, investor, dan pihak terkait lainnya, untuk memahami hubungan antara pendapatan yang dihasilkan dan biaya-biaya yang terkait dengan penghasilan tersebut.
Dalam praktiknya, prinsip penandingan membantu perusahaan menganalisis dan memantau efisiensi dan profitabilitas operasionalnya serta untuk membuat keputusan bisnis yang lebih baik berdasarkan pemahaman menyeluruh mengenai hubungan pendapatan dan beban-beban yang terkait.
3. Penutup
Baik asumsi dasar maupun prinsip akuntansi memainkan peran yang sangat penting dalam pemahaman dunia akuntansi. Namun, jujur saja, saya baru benar-benar memahami hal ini setelah mempelajari akuntansi pada tingkat lanjut.
Ketika pertama kali belajar akuntansi, asumsi dan prinsip dasar akuntansi masih terasa sangat abstrak bagi saya. Pemahaman saya hanya sebatas asumsi unit moneter, sedangkan sisanya masih terlalu membingungkan. Namun, seiring berjalannya waktu dan saya mempelajari akuntansi pada tingkat yang lebih lanjut, seluruh asumsi dan prinsip dasar tersebut menjadi lebih mudah dipahami dan terasa masuk akal.
Sekian tulisan saya mengenai asumsi dasar dan prinsip untuk mengukur transaksi keuangan.
Stay safe and stay healthy. Take care!
0 Comments