Keuangan Islam adalah suatu sistem yang dijalankan berdasarkan hukum-hukum Islam atau yang biasa disebut syariah.
Sama halnya dengan sistem keuangan konvensional, sistem keuangan Islam juga mengatur berbagai sektor keuangan, namun yang berbasis syariah, seperti bank, pasar modal, manajer investasi, hingga perusahaan leasing syariah.
Dari hal di atas, rasanya jelas bahwa Islam tidak menghalangi satupun umatnya untuk menjauhkan diri dari kegiatan ekonomi dan mengejar kekayaan.
Islam mendorong umatnya untuk mengejar keselarasan antara kegiatan perniagaan dengan aspek-aspek spiritual dalam kehidupan. Perniagaan ataupun aktivitas-aktivitas ekonomi lainnya yang berlandaskan prinsip-prinsip syariah dan bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain, merupakan suatu kegiatan bernilai ibadah.
Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamnya. Beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok.
Prinsip Keuangan Islam: Batasan, Keadilan, dan Berkah
Dalam sistem ekonomi konvensional seperti kapitalis, hal utama yang menjadi perhatian adalah terkait permintaan dan penawaran, dengan pertanyaan utama, "Bagaimana ekonomi memenuhi keinginan tak terbatas dengan sumber daya yang terbatas?" yang selanjutnya akan mempengaruhi apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, dan untuk siapa hasil produksi itu.
Masalah ini tidak ditemui dalam sistem Islam, karena di dalamnya ada prinsip yang secara tegas menyatakan bahwa tidak semua keinginan harus terpenuhi. Islam mengatur konsumsi yang cukup serta melarang pengeluaran yang berlebihan.
Tidak hanya terbatas pada hal tersebut, Islam juga mengharamkan atau melarang dengan keras pengeluaran konsumsi untuk kebutuhan-kebutuhan yang dilarang, seperti untuk membeli minuman keras, berjudi, menyewa telembuk, mempromosikan kegiatan yang berbau pornografi, dan hal-hal dilarang lainnya.
Meskipun terkesan tidak rasional, umat Islam menyadari dengan logikanya bahwa sumber daya yang ada memang terbatas, namun meyakini dengan sepenuh hati bahwa Allah telah dan akan selalu menyediakan segala yang dibutuhkan manusia, serta mengatur tingkat permintaan konsumsi dengan mendorong gaya hidup yang cukup dan tidak berlebihan.
Inti dari konsep keuangan Islam adalah Allah pemilik semua yang ada di alam semesta dan apa-apa yang dimiliki manusia hanyalah titipan dari-Nya. Namun demikian, umat Islam memiliki hak untuk menikmati kekayaan apapun yang mereka miliki dan belanjakan asalkan sesuai prinsip syariah.
Sebagai bentuk penegakkan keadilan, Islam juga memiliki suatu sistem pemungutan atas pendapatan seperti pajak, yang disebut dengan zakat. Setiap umat Islam yang telah memenuhi kriteria atas jumlah kekayaan tertentu, diwajibkan untuk membayar zakat, yang selanjutnya zakat tersebut akan didistribusikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Di luar zakat, Islam juga mendorong umatnya untuk menyedekahkan hartanya.
Beberapa Prinsip Keuangan Islam untuk Perusahaan
Berdasarkan prinsip-prinsip keuangan Islam, ada beberapa hal yang dengan tegas membedakan perusahaan syariah dengan perusahaan konvensional. Apabila prinsip-prinsip tersebut tidak ditaati, maka perusahaan tersebut tidak dapat dikatakan perusahaan yang berlandaskan prinsip syariah.
Prinsip Keuangan Islam: Menghindari Riba
Bunga didefinisikan secara sederhana sebagai kelebihan premi yang dibayar peminjam kepada pemberi pinjaman selama jangka waktu tertentu atas nilai pokok yang dipinjamkan.
Jadi, si peminjam selain mengembalikan pokok pinjaman, juga membayar bunga atas pinjamannya. Dalih utama dari bunga adalah hilangnya kesempatan sang pemberi pinjaman untuk menggunakan uang tersebut untuk kegiatan usaha maupun kegiatan konsumsi-nya dan juga risiko kehilangan sejumlah uang yang dipinjamkannya.
Atas hal tersebut, perusahaan-perusahaan berbasis syariah tidak boleh menjual produk dan menghimpun dana modalnya pada produk-produk yang berbasiskan bunga seperti tabungan, deposito, dan obligasi konvensional. Selain itu, untuk instrumen investasi-nya, perusahaan syariah tidak boleh membeli saham-saham perusahaan yang kegiatannya adalah menjual produk-produk yang berbasis bunga, seperti saham bank dan perusahaaan leasing konvensional.
Riba sendiri dibagi menjadi dua tipe:
- Riba al-nasiah, yaitu riba yang muncul atas peminjaman sejumlah uang, di mana peminjam dan pemberi pinjaman sepakat di awal atas imbalan yang akan diberikan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman sejumlah uang di luar nilai pokok pinjaman, sebagai balas jasa atas uang yang dipinjamkan. Contohnya begini, misalnya ada seseorang yang meminjam 1 juta dengan kesepakatan bahwa dia harus mengembalikan 1,2 juta setelah jangka waktu tertentu. Tambahan 200 ribu ini dianggap sebagai riba al-nasiah karena merupakan pembayaran tambahan di luar jumlah pokok yang dipinjam.
- Riba al-fadl, yaitu riba yang muncul atas pertukaran dua barang yang sejenis, di mana salah satu pihak menambahkan sejumlah uang atas pertukaran barang tersebut. Misalnya, asumsikan dua orang yang sedang menukar emas. Salah satunya menambahkan sejumlah uang tambahan dalam pertukaran tersebut, sehingga transaksi menjadi tidak seimbang. Jumlah uang tambahan ini dianggap sebagai riba al-fadl. Islam melarang riba al-fadl untuk memastikan keadilan dan kesetaraan dalam transaksi, serta untuk mencegah bentuk eksploitasi atau transaksi yang tidak adil.
Dengan memahami dan menghindari kedua jenis riba tersebut, diharapkan individu dan masyarakat dapat menjalankan praktik keuangan yang etis dan adil sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Prinsip Keuangan Islam: Menghindari Gharar dalam Transaksi
Islam mengajarkan umatnya agar menjauhi transaksi yang tidak pasti atau tidak jelas, yang disebut dengan istilah "gharar". Transaksi ini perlu dihindari karena membuat orang sulit membuat keputusan yang tepat berdasarkan informasi yang lengkap.
Gharar bisa terjadi dalam situasi-situasi berikut:
- Ketika dua pihak menandatangani perjanjian, namun salah satu pihak tidak memiliki informasi yang lengkap dan akurat, sementara pihak lainnya memiliki akses yang lebih besar terhadap informasi. Ini bisa menyebabkan ketidakadilan karena salah satu pihak lebih tahu tentang apa yang sedang terjadi dibandingkan dengan pihak lainnya. Contohnya, jika seseorang menjual suatu produk kepada kamu tanpa memberikan informasi penting tentang kondisinya, hal ini bisa dianggap sebagai gharar.
- Ketika kedua pihak tidak memiliki kendali atas suatu transaksi. Artinya, transaksi ini mengandung unsur ketidakpastian yang tinggi dan tidak dapat dikendalikan. Misalnya, jika seseorang menjual buah durian yang belum ada atau baru akan dipanen beberapa bulan ke depan, dan mereka menawarkan harga yang "dijamin" untuk membelinya di masa depan. Namun, karena ketidakpastian tentang hasil panen dan kondisi buah durian, transaksi semacam ini bisa dianggap sebagai gharar.
Dalam Islam, menghindari transaksi dengan gharar penting untuk memastikan terjadinya keadilan, transparansi, dan kepastian dalam berbisnis. Dengan memahami konsep ini, kamu dapat membuat keputusan yang lebih baik dan menghindari transaksi yang meragukan atau tidak jelas.
Menolak Masyir dan Qimar: Prinsip Keuangan Islam
Masyir dan qimar adalah istilah dalam keuangan Islam yang mengacu pada praktik-praktik yang dilarang. Masyir adalah cara mendapatkan kekayaan dengan cara yang mudah tanpa usaha yang jelas, sedangkan qimar adalah permainan yang mengandalkan keberuntungan, seperti judi bola, pakong, atau judi kartu.
Keduanya dilarang dalam Islam karena mereka memiliki sifat gharar atau ketidakpastian yang tinggi.
Prinsip keuangan Islam mengajarkan umatnya untuk menikmati kekayaan yang dimiliki dan menghabiskannya dengan cara yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Artinya, kita boleh memiliki dan menggunakan uang kita, tetapi dengan mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan.
Kegiatan masyir, seperti jual beli kupon undian berhadiah, jelas tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena selain menjual sesuatu yang tidak pasti, produk ini mengajarkan umat Islam menjadi malas dan terbiasa mengharapkan sesuatu tanpa usaha.
Dalam qimar, seseorang mempertaruhkan uangnya dengan harapan memenangkan hadiah atau keuntungan besar. Qimar juga melibatkan unsur ketidakpastian dan tidak adil karena hanya satu pihak yang memperoleh keuntungan sedangkan pihak lain menderita kerugian.
Perusahaan Syariah: Investasi Sesuai Prinsip-prinsip Islam
Prinsip syariah melarang perusahaan-perusahaan syariah untuk tidak menginvestasikan dananya pada perusahaan-perusahaan yang kegiatannya bertentangan dengan hukum islam, seperti perusahaan judi, pornografi, rokok, bir, dan perusahaan-perusahaan berbasis bunga pada produknya.
Hal tersebut bertujuan agar perusahaan syariah benar-benar menjauh dari mendapatkan keuntungan melalui kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh Islam.
Melalui tindakan itu juga, perusahaan-perusahaan syariah dapat secara aktif mencegah pertumbuhan dan perkembangan kegiatan yang melanggar prinsip-prinsip Islam. Dengan tidak memberikan dukungan finansial kepada perusahaan-perusahaan terlarang, diharapkan dapat mendorong praktik bisnis yang lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dan menjaga integritas bisnis yang dijalankan.
Penutup
Prinsip keuangan Islam mengintegrasikan ajaran agama ke dalam sistem keuangannya. Ini termasuk tanggung jawab konsumsi, larangan terhadap pengeluaran berlebihan, serta fokus pada aktivitas yang bermanfaat. Prinsip ini menekankan bahwa kekayaan berasal dari Allah dan harus digunakan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah.
Dalam sistem keuangan Islam, keadilan ditekankan dan praktik-praktik seperti bunga dan perjudian dilarang. Sebaliknya, dianjurkan perilaku keuangan yang bertanggung jawab, termasuk pembayaran zakat dan sedekah. Tujuannya adalah menciptakan ekonomi yang adil dan seimbang.
Individu diajarkan untuk mempertimbangkan dengan hati-hati setiap keputusan keuangan. Dengan demikian, mereka dapat membantu membangun masyarakat yang adil dan merata, sambil tetap menikmati berkah kekayaan dalam kerangka yang ditetapkan oleh Islam.
0 Comments